A. Pendahuluan

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia.

Pada tataran teori dan praktik, sifat melawan hukum dikenal baik dalam hokum perdata maupun dalam hukum pidana. Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan “wederrechtelijk” dalam lingkup pidana dan “onrechtmatige daad” dalam lingkup perdata. Awalnya, banyak pihak yang meragukan apakah istilah itu memang merupakan suatu bidang tersendiri atau hanya sekedar istilah hukum yang tidak masuk dalam salah satu bidang hokum yang sudah ada. Baru pada pertengahan abad ke-19, perbuatan melawan hukum mulai diperhitungkan sebagai sebuah bidang hukum tersendiri, terutama di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda dengan Istilah onrechtmatige Daad, atau di negara-negara Anglo Saxon, dengan istilah tort[1].

Dalam hukum perdata sifat melawan hukum istilah Belandanya disebut “onrechmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut “tort” yang berarti “salah” (wrong). Kata tort sendiri berasal dari bahasa Latin “torquere” atau “tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata wrong berasal dari kata Perancis “wrung”, yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dari dibentuknya suatu system hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh pribahasa Latin, yaitu “Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere” yang berarti “Semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain; dan memberikan orang lain haknya”.

Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar Arrest HR 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima di masyarakat[2]

Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hokum dalam KUH Perdata hanya 15 Pasal, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hokum disamping gugatan wanprestasi. Terminologi perbuatan melawan hokum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “tort”. Beberapa sarjana yang ada menggunakan istilah “melanggar” ada juga yang menggunakan istilah “melawan”[3].

B. Pembahasan

1. Pengertian Tort (Perbuatan Melawan Hukum)

Terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘tort’. Beberapa sarjana ada yang menggunakan istilah ‘melanggar’ ada juga yang menggunakan istilah ‘melawan’ dalam menerjemahkan onrechtmatige daad. Wirjono Projodikoro, menterjemahkan kata onrechtmatige daad menjadi ‘perbuatan melanggar hukum’ sementara M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan, menerjemahkannya menjadi ‘perbuatan melawan hukum’.

Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai ‘perbuatan melawan hukum’ lebih tepat dibandingkan ‘perbuatan melanggar hukum’. Pertama, dalam kata ‘melawan’ melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan dengan kata ‘melanggar’. Maksudnya adalah bahwa dalam kata ‘melawan’ dapat mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata ‘melanggar’ cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja.

Rumusan Pasal 1365 KUH Perdata adalah “tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugiaan kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugiaan itu, mengganti kerugian tersebut.” Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan ‘melukai’ (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract). Apalagi gugatan perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya hubungan hukum kontraktual.

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan[6].

2. Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata

Pengertian perjanjian atau kontrak berbeda dengan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Sumber perikatan yang lain adalah undang-undang. Perbedaan antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dan undang-undang terletak pada akibat hokum dari hubungan hokum tersebut. Akibat hokum perikatan yang lahir dari perjanjian dikehendaki oleh para pihak karena perjanjian dibuat atas dasar kesepakatan para pihak, sementara akibat hokum dari perikatan yang lahir dari Undang-Undang ditentukan oleh Undang-Undang, pihak yang melakukan perbuatan tersebut mungkin tidak menghendaki akibat hukumnya.

Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati disebut wanprestasi dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi. Sedangkan pelanggaran terhadap suaut ketentuan Undang-Undang dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain disebut Perbuatan Melawan Hukum (PMH), pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hokum.

Karenanya bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pertama, pertanggungjawaban kontraktual dan kedua, pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hokum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat mengugat pihak yang merugikan bertanggung jawab dengan dasar perbuatan melawan hukum.

Tanggungjawab perbuatan melawan hokum hadir untuk melindungi hak-hak seseorang. Hokum dalam perbuatan melawan hokum menggariskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuaan baik kesalahan atau kelalaian atau melukai orang lain dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Perbuatan melawan hokum di Indonesia secara normative selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Perumusan norma pasal 1365 KUH Perdata lebih merupakan struktur norma dari pada substansi ketentuan hokum yang sudah lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan materialisasi di luar KUH Perdata.

Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hokum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Pengertian melawan hokum pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hokum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige daad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahir merek “Singer” yang telah disempurnakan. Padahal mesin tersebut sama sekali bukan produk dari kata Singer. Kemudian di muka pengadilan, Hoge Raad antara lain mengatkan bahwa perbuatan pedagang tersebut bukanlah merupaan tindakan melawan hokum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata karma dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hokum.

Berdasarkan Pasal 1365KUH Perdata, suatu perbuatan dikatakan merupakan suatu perbuatan melawan hokum apabila memenuhi unsur-unsur:

  1. Perbuatan
  2. Perbuatan tersebut melawan hokum
  3. Ada kesalahan
  4. Ada kerugian
  5. Terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Pasal 1365 KUH Perdata menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hokum untuk membayar ganti rugi. Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata memberikan sedikit pedoman untuk iu dengan menyebutkan “juga penggantian kerugian ini di nilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.” Pedoman selanjutnya dapat ditemukan pada Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan “dalam menilai satu dan lain, hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan.

Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut[7]:

  1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
  2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
  3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

Dalam hokum perdata dipersoalkan apakah ada perbedaan pengertian antara kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melawan hokum disatu pihak dan kerugian sebagai akibat dari tidak terlaksananya suatu perjanjian di lain pihak. Pasal 1365 KUH Perdata menamakan kerugian akibat perbuatan melawan hokum sebagai “scale” (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 KUH Perdata di namakan “Kosten, scaden en interessen” (biaya, kerugian dan bunga).

Penentuan ganti kerugian berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata menunjukkn segi-segi persamaan dengan penentuan ganti kerugian karena wanprestasi, tapi juga dalam beberapa hal berbeda. Dalam undang-undang tidak diatur tentang ganti kegurian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hokum, sedang pasal 1243 KUH Perdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian karena perbuatan melawan hokum dapat diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentun tentang ganti kerugian karena wanprestasi.

Mengenai kerugian kekayaan (vermogenshade), penggantian pada umumnya terdiri dari penggantian atas kerugian yang diderita dan juga berupa keuntungan yang sekiranya dapat diharapkan diterimanya (gederfdewinst). Sehubungan dengan hal tersebut tidaklah semudah diperkirakan untuk menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut. Sebagai ketentuan umum kiranya dapat digunakan kenyataan bahwa maksud dari kewajiban memberikan ganti kerugian adalah untuk membawa si penderita sedapat mungkin pada keadaan sekiranya tidak terjadi perbuatan melawan hokum.

Berbagai tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hokum, yaitu:

  1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan
  2. Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula
  3. Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hokum
  4. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu
  5. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hokum
  6. Pengumuman daripada keputusan atau dari suatu yang telah diperbaiki.

Ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum adalah mengembalikan penderita pada posisi semula sebelum perbuatan melawan hokum dilakukan. Atas dasar itulah Hoge Raad dalam putusannya tanggal 24 Mei 1918 telah mempertimbangkan bahwa pengembalian dalam keadaan semula merupakan pembayaran ganti kerugian yang paling tepat. Pembayaran ganti kerugian tidak selalu harus berwujud uang. Pembayaran ganti kerugian sejumlah uang hanya merupakan nilai yang equivalent saja terhadap pengembalian penderita pada keadaan semula (restitutio in integrum).

3. Perbuatan Melawan Hukum Materiil di Indonesia

Pada masa penjajahan, dengan menggunakan asas konkordansi segala hukum yang berlaku di Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Kemudian setelah kemerdekaan, Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 menentukan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hokum pada waktu itu (rechtvacuum)[8]. Dengan begitu, di Indonesia dikenal pula konsep sifat melawan hukum yang notabene berasal dari Belanda baik dalam arti formil ataupun arti materiil.

Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:

  • Sifat melawan hukum secara umum. Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.
  • Sifat melawan hukum secara khusus. Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.
  • Sifat melawan hukum secara materil. Sifat melawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
  • Sifat melawan hukum secara formil. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.[9]

Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan[10].


Sumber:

[1] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cet. II, 2005), 2.

[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 503.

[3] Rosa Agustina., dkk. Perbuatan Melawan Hukum. Pustaka Larasan: Denpasar, Bali. 2012.

[4] General principles of tort law. http://elearn.uni-sofia.bg/pluginfile.php/100711/mod_resource/content/1/understanding_torts.pdf

[5] What is tort law? http://catalogue.pearsoned.co.uk/assets/hip/gb/hip_gb_pearsonhighered/samplechapter/1447911288.pdf

[6] Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, 2009, hal. 73

[7] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010, hlm. 3.

[8] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2010), 18-20

[9] D. Schaffmeister, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Liberty, Yogyakarta, 2003, Cet. Kedua, hal. 39

[10] Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115


 [Flash1]Belum di paraphrase